Rabu, 19 Januari 2011

bahagialah :)

Pagi itu, saya tidak punya agenda kegiatan apa-apa.

Biasanya saya mengagendakan untuk ke perpustakaan, maklumlah mahasiswa tingkat akhir yang harus menyelesaikan tugas akhir, I called it, “Skripsweet..”

Setelah selesai bersih-bersih kamar kost, lalu saya sarapan dan mandi, masih berpikir “hari ini enaknya ngapain ya?”. Jawabannya sih simple, harusnya saya tetap ke perpustakaan! Tapi rasanya agak jenuh karena belum menemukan apa yang saya cari di sana….



Ada sebuah tempat yang belum pernah saya datangi, akhirnya saya memutuskan pergi kesana. Memang bakat nyasar! Setelah nyasar dan memutar balik akhirnya ketemu juga tempatnya ”Pendidikan Luar Biasa”, di sana ada SLB (Sekolah Luar Biasa) yang lengkap, dan saya tertarik masuk ke SLB-B, yah hitung-hitung sekalian observasi tema skripsi yang saya ambil mengenai pendidikan & perkembangan untuk tuna rungu.



Sepintas tak terlihat ada yang berbeda, semua terlihat sama, hanya ada yang berbeda ketika ruangan benar-benar sunyi. Anak-anak kecil itu tak mampu berbicara dan hanya menggunakan tangan sebagai isyarat. Hanya itu yang berbeda. Bahkan suara hentakan persis di samping telinga mereka, tak ada yang merespon karena mereka hidup dalam kesunyian. Usut punya usut kebanyakan dari mereka kehilangan pendengaran sampai dia atas 100 desibel, ibarat pesawat mau lepas landas mereka belum mampu menggapai suara mesinnya. Miris hati ini.



Mungkin hanya pikiran saya yang menjadi rumit seketika, karena saya tidak mengalami apa yang mereka alami. Perasaan antara ingin menangis dan bersujud lemas, tetapi semuanya berubah menjadi senyuman ketika ada seorang anak menghampiriku dengan senyum dan berisyarat menyapa. ”Allahuakbar......!”



Saya masih terus membayangkan apa rasanya menjadi mereka, tentu saja nalar saya tak sampai untuk memikirkannya. Semua pertanyaan yang saya anggap rumit menjadi sangat mudah ketika saya melihat mereka begitu asyik bersekolah, mereka begitu asyik saling bercanda, meledek teman yang juga senasib. Bahkan ketika guru mereka sedang menjelaskan pelajaran, ada diantara mereka yang kena tegur karena sedang bercanda. ”Bercanda dalam sunyi, bercanda dengan isyarat, bercanda dengan bahagia di tengah keheningan...”



Tak ada kerumitan diantara mereka, yang ada hanya kebahagiaan saling berbagi, saling menyayangi. Seorang anak tuna rungu yang juga mengalami microsefalus menyenggol tubuh saya dan mengisyaratkan ”Kak, tolong bukain chiki saya dong..!”. Beberapa anak mencari perhatian dengan gerakan-gerakan badannya yang tidak balance, sangat sederhana ekspresi gembira mereka, tanpa suara tanpa kata-kata....



Bel pulang telah berbunyi, kami bersiap-siap pulang. Nampak raut wajah menanti dari orangtua yang menunggu mereka di luar kelas, akhirnya mereka kembali memeluk orang tuanya, selesai sudah pelajaran hari ini. Bahwa mereka di tengah keterbatasannya tetaplah seorang anak yang memiliki masa depan, bahwa mereka di tengah keterbatasannya tetaplah menjadi harapan orang tuanya.

Sambil memakai sarung tangan, jaket, helm dan perlengkapan perang lainnya, dari arah parkiran saya melihat beberapa anak special lainnya lewat dan pergi ke arah gerbang sekolah. ”Ya Allah...sungguh tak ada yang menjadi rumit di dunia ini karena petunjukMu... Maha Besar Engkau yang menciptakan kesempurnaan dan ketidaksempurnaan...”



Sepanjang perjalanan ke masjid kampus, saya benar-benar berusaha menginternalisasi apa yang saya lihat di sana. Saya datang dengan pikiran yang sedang jenuh, saya bertemu dengan teman yang juga sedang kusut, orang-orang di sekitar saya sedang merasa punya banyak masalah dan menganggap semuanya itu rumit tapi apa yang barusan saya lihat adalah bahagia dalam kesederhanaan.



Biarlah tampilan luar yang saya lihat, mereka bahagia.



Paling tidak mereka hidup diantara orang-orang yang tulus, guru yang begitu sabar mendidik, orang tua yang begitu ikhlas membesarkan mereka, dan teman-teman yang sama-sama tak memiliki pilihan lain dalam menjalani kesunyian.



Saya teringat seorang anak yang tiba-tiba menangis di kelas karena ia sakit gigi namun tak ada seorangpun yang memahaminya. Begitulah isyarat yang kadang tidak mudah dipahami. Begitu inginnya mereka menyampaikan apa yang mereka mau namun tak semudah itu mereka menyampaikannya.



”Kalau hati ini merasa gundah, maka hitung nikmat syukur yang kau dapat. Kalau pikiran ini terasa rumit, maka hitung pula berapa nikmat syukur yang kau dapat. Kalau jiwa ini terasa sombong maka ingat ’mereka’ yang tidak memiliki pilihan atas takdirnya. Kalau ingin mengadu, mengadulah padaNya karena ia sebaik-baik penolong...”



Kadang kerumitan muncul dari pikiran yang buntu dalam menghitung nikmat syukur. Kadang juga kerumitan muncul dari kerumitan dalam memandang hidup. Hiduplah untuk berbagi maka kita akan menemukan bahagia dalam kesederhanaan.


(25 November 2010)
Salam hangat,

^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar